Senin, 29 November 2010

Mengevakuasi Masalah-Masalah Indonesia Yang Tertutupi Oleh “Awan Merapi”*

Catatan Diskusi tanggal 24 November, 2010

                Dalam tiga bulan ini Indonesia harus menelan pil pahit tertimpa tiga bencana alam dalam periode cukup singkat. Belum hilang ingatan kita bencana banjir bandang Wasior yang menelan ratusan korban jiwa, kembali negeri ini menghadapi bencana yang tak kalah dasyatnya, tsunami di Mentawai, dan erupsi di Gunung Merapi. Harusnya pemimpin negeri sudah sadari sejak awal kondisi alam di Indonesia yang rawan bencana. Dihimpit oleh tiga lempeng bumi, lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng Pasifik menjadikan wilayah Indonesia paling rawan gempa bumi dan tsunami. Belum lagi banyak gunung berapi yang mengitari wilayah Indonesia, hingga tersemat julukan ring of fire (lingkaran api).
                Kehadiran lembaga BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika), dan BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), sebenarnya menandakan pemerintah telah siap dalam mengantisipasi dan menanggulangi bencana. Tapi kenyataannya sampai dengan saat ini kinerja pemerintah belum optimal, dilihat dari masih banyaknya korban dan penanggulangan bencana yang payah. Banyak yang mengatakan, mengapa penanganan bencana begitu sulit dilakukan, karena  wilayah Indonesia terlalu luas, dan menjadi sulit jika penanganan harus terpusat. Artinya perlu ada desentralisasi penanganan bencana. Di era massifnya otonomi daerah saat ini, sangat tepat jika wacana ini dapat terealisasi, karena otonomi daerah telah berjalan cukup lama, dan kemungkinan daerah telah siap untuk mengambil alih penanganan bencana diwilayahnya masing-masing.
                Keuntungan jika desentralisasi diterapkan yang pertama, penanganan bencana akan lebih cepat dan tidak bertele-tele, karena strukturnya semakin diperpendek. Yang kedua, penanganan akan lebih tepat sasaran, karena daerah punya informasi yang akurat tentang daerahnya. Yang ketiga, lembaga-lembaga dipusat bisa berkonsentrasi untuk menangani bencana dengan skala impact yang lebih besar. Karena kelemahan selama ini, lembaga dipusat kelabakan jika menghadapi bencana dengan waktu yang bersamaan.
Pemberitaan Bencana di Media
                Banyak kawan-kawan kita yang menyayangkan terlalu banyaknya porsi pemberitaan bencana di media saat itu. Apalagi ditengah masih banyaknya permasalahan indonesia yang kini luput dari pemberitaan media. Apa yang menjadi interest media saat itu sangat wajar, kalau kita mau memahami watak profit sebuah media, karena berita bencanalah yang saat itu paling laku dijual. Dan harusnya pilihan media diatas patut kita syukuri, karena itulah yang harus menjadi prioritas utama wacana saat itu. Massifnya pemberitaan media tentang bencana adalah suatu keuntungan, pertama, karena korban bencana tentu butuh uluran tangan dari masyarakat lain. Dengan pemberitaan itu, kita sekarang bisa lihat efeknya yang luar biasa, begitu banyaknya jumlah bantuan yang terhimpun. Yang kedua, gencarnya pemberitaan juga sebagai penanaman nilai-nilai positif bagi masyarakat, rasa kebersamaan sebagai saudara setanah air, juga kepedulian akan kemanusiaan semakin meningkat.
                Pemberitaan bencana memang telah menutupi berjibun masalah lain ditanah air. Orang-orang “nakal” di negeri mendapat keuntungan, karena merasa aman dari sorotan media. Tapi mengingat prioritas diatas, kita harus memaklumi akan kondisi ini. Yang seharusnya menjadi bahan kritik kita terhadap media bukan pada pilihan isu, tapi pada keakuratan dan proporsionalitas pemberitaan bencana. Ketidak akuratan akan menyebabkan kepanikan dan kesalahan penanganan. Sedangkan pemberitaaan yang tidak proporsional berakibat pada buruknya distribusi bantuan. Suatu fakta selama ini, bagaimana diskriminasi bantuan yang diberikan antar posko dan antar daerah, karena informasi yang tidak berimbang.
                Media di zaman informasi ini adalah aktor paling penting dalam pengarusutamaan agenda bangsa. Seperti apa yang diungkap oleh peneliti amerika, Mc Combs dan Donald L Shaw dalam teori Agenda setting, bahwa Media Massa adalah “playmaker” dalam pemilihan dan pemihakan agenda politik. Artinya tuntutan akan independensi, dan  political will menjadi penting untuk dimiliki media. Upaya perbaikan bangsa saat ini, juga harus meliputi perbaikan kualitas media massa. Dengannya, kepentingan hakiki masyarakat akan terartikulasikan dengan baik oleh media dan masyarakat juga semakin dicerdaskan dengan pemberitaan yang berkualitas.
*Samsul Muhammad, Jurusan Tafsir Al-Qur’an dan Hadis, Fakultas Ushuluddin, UIN Suka

Minggu, 21 November 2010

Fatwa-Fatwa Seputar Pergaulan Pria Dan Wanita

1. Alasan Diharamkannya Berjabat Tangan dengan Wanita Bukan Mahram

Tanya: Mengapa Islam mengharamkan laki-laki berjabatan tangan dengan wanita bukan mahram? Batalkah wudhu seorang laki-laki yang berjabat tangan dengan wanita tanpa syahwat?

Jawab: Islam mengharamkan hal itu karena termasuk salah satu fitnah yang paling besar. Jangan sampai seorang laki-laki menyentuh kulit wanita yang bukan mahram atau seluruh perkara yang memancing timbulnya fitnah. Karena itu, Allah Subhanahu Wata'ala memerintahkan menundukkan pandangan untuk mencegah mafsadat (kerusakan) ini. Ada pun orang yang menyentuh istrinya, maka wudhunya tidak batal, sekali pun hal itu dilakukan karena syahwat. Kecuali jika sampai mengeluarkan madzi atau mani. Jika ia sampai mengeluarkan mani, maka harus mandi dan jika yang dikeluarkan adalah madzi, maka ia harus berwudhu dan mencuci dzakarnya. (Syaikh Muhammad al-‘Utsaimin)

2. Hukum Seorang Laki-laki Berjabat Tangan dengan Saudara Ipar Perempuan

Tanya : Bolehkah seorang laki-laki berjabat tangan dengan saudara ipar perempuan, jika itu dilakukan tanpa khalwat, di hadapan sanak saudara dan orang tua, yang sering kali terjadi dalam kesempatan-kesempatan seperti hari raya dan sebagainya ?

Jawab : Tidak boleh seorang laki-laki berjabat tangan dengan istri saudaranya atau istri pamannya, sebagaimana larangan berjabat tangan dengan wanita-wanita ajnabiyyah (asing bukan mahram) yang lain. Sebab, seorang laki-laki bukanlah mahram bagi istri saudaranya, dan begitu juga paman dari pihak ayah bukan mahram bagi istri keponakannya dan paman dari pihak ibu juga bukan mahram bagi isteri keponakannya. Dan begitu juga anak-anak paman bukan mahram bagi istri-istri sepupunya. Hal itu berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, “Sesungguhnya, aku tidak berjabat tangan dengan wanita.” Aisyah radhiyallahu 'anha berkata, “Demi Allah, tangan Rasulullahshallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah menyentuh tangan wanita. Beliau tidak membai’at kaum wanita, kecuali dengan ucapan.”

Di samping itu, karena berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram bisa menjadi penyebab timbulnya fitnah, misalnya memandang atau yang lebih berbahaya dari itu. Adapun dengan orang-orang yang memiliki hubungan mahram, maka tidak mengapa berjabat tangan. Wallahu waliyyut taufiq. (Syaikh Abdul Aziz Ibnu Baz)

3. Hukum Berjabat Tangan dengan Wanita Ajnabiyyah Jika Memakai Penutup

Tanya : Bolehkah saya berjabat tangan dengan wanita ajnabiyah jika ia mengenakan kain penutup di tangannya ? Apakah hukum wanita yang telah berusia lanjut sama dengan hukum wanita yang masih muda ?

Jawab : Seorang pria tidak boleh berjabat tangan dengan wanita ajnabiyah yang tidak memiliki hubungan mahram, baik jabat tangan itu dilaksanakan secara langsung maupun dengan menggunakan penutup tangan, karena hal itu merupakan salah satu bentuk fitnah. Sedangkan Allah Subhanahu Wata'ala telah berfirman, artinya, “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu suatu perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk.” (al-Isra’ : 32).

Ayat ini menunjukkan bahwa kita berkewajiban untuk meninggalkan segala sesuatu yang menghantarkan kepada perzinaan, baik berupa zina kemaluan yang merupakan zina yang paling besar atau lainnya. Tidak diragukan bahwa persentuhan antara tangan seorang pria dengan tangan seorang wanita ajnabiyyah bisa membangkitkan syahwat, apalagi terdapat hadits-hadits yang melarang keras tindakan tersebut dan yang menyatakan ancaman keras terhadap siapa saja yang berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahramnya. Dalam hal itu, tidak ada perbedaan antara wanita yang masih muda maupun yang sudah tua. Kita harus berhati-hati karena setiap barang bergeletakan pasti ada pemungutnya. Di samping itu, persepsi orang sering berbeda mengenai batasan wanita yang masih muda dan yang sudah tua. Bisa jadi seseorang menganggap wanita anu sudah tua, tetapi yang lain menganggap ia masih muda. (Syaikh Muhammad al-Utsaimin)

4.Berduaan dengan Wanita Ajnabiyyah adalah Haram

Tanya : Sebagian orang ada yang menganggap remeh masalah perbincangan antara seorang laki-laki dengan wanita ajnabiyyah. Misalnya, jika seseorang datang ke rumah sahabatnya, tetapi ternyata sahabatnya itu tidak ada, maka istrinya akan menemuinya dan berbincang-bincang dengannya. Ia membuka majelis serta menghidangkan kopi atau teh kepadanya. Apakah tindakan ini dibolehkan, mengingat bahwa ketika itu tidak ada seorang pun yang berada di rumah selain istri orang tersebut ?

Jawab : Seorang wanita tidak dibolehkan mengizinkan pria bukan mahram memasuki rumah suaminya, ketika suaminya bepergian, meskipun orang tersebut adalah kawan akrab suaminya dan sekalipun ia seorang yang dapat dipercaya, sebab tindakan ini merupakan khalwat (menyendiri) antara seorang pria dengan seorang wanita ajnabiyyah. Padahal disebutkan di dalam hadits, “Sungguh tidaklah seorang laki-laki menyendiri dengan seorang wanita, kecuali syetan akan menjadi pihak yang ke tiga.”

Sebaliknya, seseorang diharamkan meminta kepada istri sahabatnya agar mengizinkannya masuk rumahnya dan memperlakukannya sebagai tamu, meski ia yakin akan mampu menjaga sifat amanat dan ketaatan kepada agama, di dalam dirinya; Karena dikhawatirkan setan akan menggodanya dan mempengaruhi kedua-keduanya.

Sang suami juga berkewajiban untuk mengingatkan istrinya agar tidak memasukkan laki-laki ajnabi ke rumah, sekalipun ia kerabat si suami sendiri. Karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Janganlah kamu sekalian masuk ke rumah kaum wanita!” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana dengan al-hamwu´(ipar)? Beliau menjawab, “Al-hamwu itu maut.”

Al-hamwu adalah saudara atau kerabat suami. Jika al-hamwu dilarang masuk ke rumah wanita, maka apalagi selainnya. (Syaikh Abdur Rahman al-Jibrin)

5.Hukum Hubungan Sebelum Pernikahan (Pacaran)

Tanya :Bagaimana hukum tentang hubungan sebelum pernikahan ?

Jawab : Jika yang dimaksud penanya dengan “sebelum pernikahan” adalah sebelum resepsi pernikahan, tetapi setelah akad nikah (ijab), maka ini tidaklah berdosa. Sebab, dengan berlangsungnya akad nikah, maka seorang wanita telah sah menjadi istri, sekalipun belum diadakan resepsi pernikahan. Adapun jika hubungan tersebut dilakukan sebelum akad nikah, yaitu selama masa pinangan atau sebelumnya, maka diharamkan. Seorang pria tidak boleh bersenang-senang dengan bukan mahram, baik dengan berbincang-bincang, memandang atau berduaan. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Jangan sekali-kali seorang pria berdua dengan seorang wanita kecuali jika wanita itu bersama mahramnya dan janganlah seorang wanita bepergian jauh, kecuali bersama mahramnya.”

Jadi jika hubungan ini dilakukan setelah akad, maka tidak berdosa, tapi jika dilakukan sebelum akad, walaupun setelah diterimanya pinangan, maka tidak dibolehkan. Pria tadi diharamkan untuk menjalin hubungan dengan wanita calon istrinya, karena ia tetap berstatus sebagai wanita ajnabiyyah sampai akad nikah keduanya dilangsungkan.(Syaikh Muhammad al-Utsaimin)

6. Hukum Wanita Bekerja di Tempat yang Bercampur antara Pria dan Wanita

Tanya : Bolehkah seorang wanita bekerja di suatu tempat yang di dalamnya berbaur antara wanita dengan pria semata-mata karena dia tahu bahwa di tempat itu terdapat pekerja-pekerja wanita lain selain dirinya ?

Jawab : Saya berpendapat bahwa tidak boleh kaum pria bercampur baur dengan kaum wanita baik ketika bekerja sebagai pegawai pemerintah maupun swasta, juga di sekolah-sekolah negri maupun swasta. Sesungguhnya, bercampur-baurnya kaum pria dengan kaum wanita itu bisa menimbulkan berbagai mafsadat, paling tidak akan hilang perasaan malu dari kaum wanita dan akan hilang kewibawaan dari kaum pria. Sebab, jika pria dan wanita telah berbaur dalam suatu tempat, tidak ada lagi wibawa laki-laki di hadapan wanita dan tidak ada lagi rasa malu wanita kepada pria. Dan ini (berbaurnya kaum pria dan wanita) bertentangan dengan Syariah Islam dan kebiasaan kaum Salafush shalih.

Bukankah anda mengetahui, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menetapkan tempat khusus bagi kaum wanita jika mereka keluar ke mushalla tempat dilaksanakannya shalat Ied. Mereka tidak bercampur baur dengan kaum pria. Sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih, bahwa seusai berkhutbah di hadapan kaum pria, beliau turun dari mimbar dan pergi ke tempat berkumpulnya kaum wanita. Beliau menyampaikan ta’lim dan taushiyah kepada mereka. Ini menunjukkan, bahwa mereka tidak mendengar khutbah Nabishallallahu 'alaihi wasallam, atau andaikata mendengar, mereka belum memahami apa yang mereka dengar dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
.
Selain itu, bukankah anda mengetahui bahwa Nabishallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Sebaik-baik shaf wanita adalah yang paling akhir dan seburuk-buruknya adalah yang paling depan, sedangkan sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang paling depan dan seburuk-buruknya yang paling belakang.”

Itu tidak lain karena shaf wanita yang paling depan itu berdekatan dengan shaf laki-laki, maka merupakan seburuk-buruk shaf dan shaf wanita yang paling akhir itu jauh dari shaf laki-laki, maka merupakan sebaik-baik shaf.

Jika ada ketentuan semacam ini di dalam ibadah yang dilaksanakan secara bersama-sama, maka bagaimana pula pendapat anda jika hal ini terjadi di luar ibadah? Merupakan hal yang dimaklumi bahwa ketika beribadah manusia berada dalam keadaan yang paling jauh dari keterkaitan dengan nafsu seksual. Bagaimana jika campur-baur itu terjadi di luar ibadah? Sesungguhnya syetan itu mengalir di dalam tubuh anak Adam sebagaimana aliran darah, maka tidak mustahil jika terjadi fitnah dan keburukan besar disebabkan oleh pencampurbauran antara pria dan wanita ini. Saya himbau kepada saudara-saudara kami agar mereka menghindari ikhtilath (bercampur baur pria dan wanita yang bukan mahram). Hendaklah mereka mengetahui, bahwa hal itu merupakan salah satu hal yang sangat berbahaya bagi kaum pria. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, “Aku tidak meninggalkan sesudahku, suatu fitnah yang lebih berbahaya bagi pria dibanding dengan fitnah wanita.”

Alhamdulillah, kita kaum muslim mempunyai ciri khas tersendiri yang membedakan kita dari golongan selain kita. Kita harus memuji Allah Subhanahu Wata'ala yang telah mengaruniakan ciri khas tersebut kepada kita.

Kita harus mengetahui, bahwa kita mengikuti syari’ah Allah Subhanahu Wata'ala Yang Maha Bijaksana, yang Mengetahui apa yang baik bagi para hamba dan bagi suatu negri. Kita juga harus mengetahui, bahwa barang siapa lari dari jalan Allah dan dari syariah Allah, maka mereka itu berada dalam kesesatan dan akhirnya mereka akan menjumpai kebinasaan. Kita memohon kepada Allah agar melindungi negri kita dan negri-negri kaum muslimin dari segala keburukan dan fitnah. (Syaikh Abdul Aziz Ibnu Baz)

Sumber : Buletin “Fatawa an-Nazhar wa al-Khalwah” Lembaga fatwa dan Riset Arab Saudi. (Zaenal Abidin Lc.)

Sabtu, 20 November 2010

Re-thinking Paradigma Pendidikan (Lanjutan tulisan "Pencarian Akar Masalah")

Re-thinking Paradigma Pendidikan            
              Telah kita ketahui bersama dalam pencapaian pendidikan yang berkualitas, tidak dapat dipisahkan peran serta paradigma pendidikan didalamnya. Lalu apa yang dimaksud dengan paradigma pendidikan sendiri? Paradigma pendidikan adalah konsep filosofis yang mendasari seluruh proses dan materi pengajaran suatu bidang ilmu yang diajarkan. Dari pengertian diatas ada istilah konsep filosofis disana, artinya perlu diuraikan dasar epistomologis yang dibangun dan tujuan pendidikan untuk apa? Konsep filosofis ini lalu dimanifestasikan dalam bentuk – bentuk konkret metode pengajaran, dan perangkat  apa yang dibutuhkan dalam mencapai tujuan pendidikan tadi. Uraian diatas  mengarah pada anasir – anasir dalam membentuk paradigma pendidikan, yakni epistemologi dan aksiologi dalam pendidikan.

Mengkaji Dimensi Epistemologi
                Pendidikan banyak dikatakan sebagai transfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge). Sedangkan istilah Ilmu pengetahuan yang selama ini banyak dipahami juga tidak luput dari masalah. Istilah ilmu pengetahuan di Indonesia sering menjadi pengertian/terjemahan dari, wetenschap (Belanda), wissenschaft (Jerman), dan science (Inggris). Padahal ketiga istilah ini menunjuk pada makna dan cakupan yang berbeda. Maka timbullah kekaburan pengertian dari ilmu pengetahuan. Misalkan antara wetenschap dan wissenschaft  tidak sama dengan science dalam cakupannya. wetenschap dan wissenschaft  lebih luas cakupannya meliputi filsafat, tekhnologi, dan bahkan doktrin dan ideologi juga dimasukkan didalamnya, sedangkan science tidak. Science merupakan pengejewantahan ilmu yang “bebas nilai”, semua empiris dalam pencarian kebenaran. Maka science dalam bahasa belanda diartikan sebagai  empirische wetenschap.[1]

                Kata ilmu sendiri berasal dari bahasa arab, sehingga dalam pembahasan terminologi ilmu seharusnya dikembalikan dalam kaidah bahasa arab. Secara sederhana Ilmu berarti pengetahuan yang mendalam, pengetahuan tentang hakekat “sesuatu”. Baik itu pengetahuan yang didapatkan dari proses pencarian, maupun didapatkan tanpa adanya pencarian bersifat given (lewat wahyu/ilham) dari pencipta manusia dan alam semesta.[2] “Sesuatu” diatas baik yang bersifat empiris-rasional maupun yang bersifat non empiris-supra rasional. Bandingkan dengan terminologi dari science, science sering diartikan sebagai kumpulan pengetahuan yang yang telah teruji kebenarannya secara empiris. Hanya terbatas pada sifat empiris-rasional. Kesalahan kita lebih memilih terminlogi science tentu mengadung konsekuensi berarti. Titik tekan pada empiris-rasional hanya akan mengembangkan pengetahuan empiris (scientific knowledge), dengan mengabaikan aspek moral, makna, dan nilai.[3]

                Mungkin ada yang mempertanyakan “benarkah wahyu menjadi sumber pengetahuan?”. Menjawab pertanyaan ini maka kita akan kembalikan pada dua pilihan diatas, menggunakan terminologi  science yang bebas nilai?  Atau menggunakan terminologi “ilmu” yang tidak bebas nilai? Syed M. Naquib Al-Attas mengingatkan umat manusia khususnya kepada umat muslim dalam risalah:
<span> </span>“Kita harus mengetahui dan menyadari  bahwa sebenarnya ilmu pengetahuan tidak bersifat netral; bahwa setiap kebudayaan memiliki pemahaman yang berbeda-beda mengenainya – meskipun diantaranya terdapat beberapa persamaan. Antara Islam dan kebudayaan barat terbentang pemahaman yang berbeda mengenain ilmu, dan perbedaan itu begitu mendalam sehingga tidak bisa dipertemukan.”[4]

              Wan Mohd Nor Wan Daud menambahkan bahwa ilmu adalah sifat manusia, sedangkan semua yang ada diluar akal pikiran manusia bukan disebut ilmu melainkan hanya sebuah fakta dan informasi.[5] Adanya sisi subyekfitas ilmu itulah yang meyakinkan kita bahwa ilmu tidak bebas nilai, tergantung perspektif manusia. Menyikapi wahyu maka semuanya kembali diri manusia, mau mengimani atau tidak terserah manusia itu. Seorang Kristen secara apriori tentu akan menyangkal wahyu dalam Al-Qur’an sebagai sumber pengetahuan karena keyakinannya. Tapi alangkah bodohnya jika seorang Islam justru meragukan Al-Qur’an sebagai sumber pengetahuan. Mengimani Al-Qur’an otomatis berarti meyakini pengetahuan didalamnya sebagai sebuah kebenaran. lainnya Dalam kitab Ar Risalah At Tauhid Muhammad Abduh bahkan mendefinisikan wahyu itu sendiri sebagai ilmu pengetahuan yang didapati seseorang dalam dirinya yang diyakini sepenuhnya berasal dari Allah SWT.

               Secara komprehensif Al-Attas mendefinisikan Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan adalah pengenalan dan pengakuan, yang diajarkan secara progresif kepada manusia, mengenai tempat yang sebenarnya dari segala sesuatu dalam tatanan ciptaan yang mengarah pada pengenalan dan pengakuan tempat yang patut bagi Allah SWT dalam tatanan being dan eksistensi”.[6] Seharusnya inilah yang sejak awal disadari oleh masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim, bahwa semakin orang Islam berilmu maka akan semakin dekat dengan Allah dan bertambah keimanannya. Karena pada hakekatnya semua Ilmu berasal dari Allah SWT. Persis seperti yang diucapkan malaikat ketika ditantang Allah untuk menjelaskan nama-nama benda ciptaan-Nya.

Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. Al Baqoroh : 32)

Obyek Pendidikan dan Klasifikasi Pendidikan
                Dalam Islam obyek ilmu dalam pendidikan ada dua dimensi, yang pertama dimensi visible (tertampak) dan invisible (tak tampak).  Visible bersifat horizontal, obyek kajiannya ada dua, alam semesta sebagai obyek, dan manusia (serta masyarakat) sebagai obyek. Lalu turunannya begitu banyak sekali dari Ilmu alam dan ilmu sosial ini dan bahkan derajatnya begitu tinggi dalam realita hirarki ilmu kontemporer.  Yang kedua ini yang harusnya sudah kita sepakati diawal bahwa obyek yang bersifat invisible memang harus diakui eksistensinya (konsekuensi iman). Seperti keyakinan umat muslim tentang keberadaan yang ghaib.

                Islam telah mengklasifikasikan jenis ilmu yang pernah diperkenalkan oleh ulama klasik semacam Al-Ghazali. Secara garis besar ada dua pembagian menurut kadar kewajibannya, yang pertama ilmu yang fardhu ‘ain dan ilmu yang fardhu kifayah.

Tujuan pendidikan
                Tujuan pendidikan barat seperti tercermin dalam pemikiran John Locke, tujuan pendidikan katanya adalah membentuk akal sehat dalam tubuh yang sehat dan otak yang sehat dalam pikiran. Hanya sebatas materi saja. Atau menurut Robert Owen menjelaskan tujuan utama pendidikan adalah pengembangan sikap moral. Walaupun sudah benar mengatakan moral sebagai tujuan, tapi owen memberikan pengertian moral secara universal, berbeda dengan akhlak dalam keilmuan Islam yang bertujuan taqorub Ilallah dan modal untuk menjadi khalifatul ard. Al-Attas mengarahkan tujuan pendidikan sebagai berikut:

 “Pendidikan tidak hanya berfungsi sebagai sarana pencapaian tujuan – tujuan sosial ekonomi, tetapi secara khusus juga berperan dalam mencapai tujuan-tujuan spiritual manusia.... Konsekuensinya, kita perlu mendefinisikan ilmu dalam kaitannya dengan realitas spiritual manusia.“

             Selaras dengan Al-Attas, Kuntowijoyo juga mengarahkan tujuan manusia bukan hanya diukur dari satu sisi, yang dikatakan sebagai “yang diluar” (materi) itu adalah kondisi yang perlu (necessary condition) , tapi itu saja tidak mencukupi atau bukan suatu kondisi yang mencukupi (sufficient condition). Dijelaskan lagi bahwa kesadaran (spiritual) itulah yang esesial, bukan kondisi materialnya.[7]

oleh Dedy Yanwar El Fani pada 20 November 2010 jam 22:16


Next --> Dimensi Aksiologis? Merumuskan Metode dan Perangkat Pendidikan

Jumat, 19 November 2010

Rombongan DPR "Telantarkan" TKW di Dubai


KOMPAS.com — Cerita pilu Sumiati, tenaga kerja wanita yang disiksa majikannya di Arab Saudi, menghias halaman pemberitaan media beberapa hari ini. Sikap abai ternyata bukan hanya milik para majikan yang kejam di negeri orang. Para wakil rakyat, yang menjadi anggota parlemen karena dipilih oleh rakyat, pun menunjukkan sikap abai saat rakyat yang memilihnya tengah kelimpungan di negeri seberang.

Rombongan Anggota DPR yang tengah melakukan kunjungan kerja ke Moskwa, Rusia, dilaporkan ”menelantarkan” seratusan lebih tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia yang tengah kebingungan di Dubai. Di antara para TKW itu ada yang kedua tangannya melepuh karena disiram air keras oleh majikannya di Arab Saudi. Sementara, satu orang TKW lainnya mengalami pendarahan di perut.

”Mereka egois sekali. Tidak ada satu pun yang peduli dengan nasib rakyat yang mereka wakili yang tengah kebingungan. Mereka menelantarkan para TKW di Dubai,” tutur Adiati Kristiarini, seorang warga Indonesia yang mendampingi para TKW, dalam perbincangan dengan Kompas.com beberapa waktu lalu.

Ia menceritakan, peristiwa itu terjadi pada Sabtu (6/11/2010). Ia bersama suaminya transit di Bandara Dubai dalam penerbangan New York-Jakarta. Di Gate 206 Bandara Dubai, mereka menunggu keberangkatan Pesawat Emirates dengan nomor penerbangan EK 358 tujuan Jakarta yang dijadwalkan berangkat pukul 10.25 waktu setempat.

Di situ, menunggu pula rombongan TKW yang jumlahnya ia perkirakan sekitar 150 orang. Adiati mengetahui kemudian, ternyata para TKW itu tidak saling kenal dan tidak pergi dalam satu koordinasi kelompok rombongan. Secara kebetulan saja mereka bertemu di bandara. Ada juga rombongan anggota DPR yang hendak pulang seusai melakukan studi banding ke Rusia.

Kebingungan

Sekitar 30 menit menunggu, tutur Adiati, ada pengumuman bahwa penerbangan ke Jakarta dibatalkan karena lalu lintas udara Indonesia tidak aman akibat letusan Gunung Merapi. Oleh Emirates, para penumpang diarahkan menuju hotel. Dari sinilah kepanikan dan kericuhan dimulai. Para TKW itu bingung. Mereka tidak tahu harus berbuat apa, sementara petugas Emirates dirasa kurang informatif.

Menurut Adiati, sebelum tiba di Hotel yang terletak di luar bandara, mereka harus melewati sejumlah prosedur. Inilah yang membingungkan para TKW sebab banyak di antara mereka tidak bisa berbahasa Inggris. ”Para TKW itu adalah orang-orang sederhana dan lugu. Mereka kebingungan. Saya dan beberapa orang Indonesia lain lalu spontan saja berinisiatif membantu mereka,” ujar Adiati.

Inisiatif membantu para TKW yang jumlahnya seratusan ini ternyata dilakukan sporadis oleh sejumlah orang Indonesia yang ada di situ. Agus Safari, seorang peneliti yang juga transit di Dubai dari Rusia, menceritakan dalam e-mail-nya kepada Kompas.com, prosedur dari bandara menuju hotel memang terasa berbelit.

Pertama, para penumpang harus antre untuk mendapatkan visa sponsorship. Setelah itu, mereka harus menjalani cek imigrasi. Seusai urusan imigrasi, mereka harus datang ke satu loket untuk mencap kartu visa. Kemudian, harus antre lagi untuk scan mata di satu sudut yang jaraknya cukup jauh dari counter cap.

Sejumlah orang Indonesia, tutur Agus, secara spontan pontang-panting mencoba mengarahkan para TKW yang kebingungan. Suasananya sangat riuh. Di tengah keriuhan, menurut Agus, rombongan anggota Dewan terlihat duduk berkelompok di sudut ruang tunggu, sementara kartu visa mereka dikerjakan oleh agen tur mereka. Agus mengenali mereka sebagai anggota DPR sebab ia satu pesawat dalam penerbangan dari Rusia. Temannya di Kedutaan Besar Rusia memberi tahu Agus soal rombongan ini.

Tidak tergerak

”Saya heran, kok mereka tidak tergerak ya mengatasi rakyat yang memilih mereka sedang panik dan bingung. Mereka hanya tertawa-tawa dan ngobrol, dan saya sempat mendengar celetukan mereka saat saya sedang mengarahkan para TKW ini, ’ya, kita bermalam di Dubai ini sekalian saja untuk menghabiskan sisa rubel (mata uang Rusia)’. Masya Allah...,” cerita Agus.

Di antara orang Indonesia yang spontan membantu para TKW ada juga Riny Konig. Ia juga transit di Dubai dalam penerbangan dari Swiss. Menurut Riny, karena kesulitan komunikasi, para TKW ini banyak yang dibentak-bentak oleh petugas bandara.

”Di sebelah saya ada orang-orang Indonesia dengan paspor biru. Mereka diam saja melihat para TKW dibentak-bentak. Kok, ya enggak ada hati orang-orang ini,” tutur Riny saat berbincang dengan Kompas.com, beberapa waktu lalu, dengan nada jengkel.

Adiati, Agus, dan Riny mulanya tidak saling kenal. Mereka dipertemukan oleh spontanitas menolong para TKW yang kebingungan. Ada sejumlah orang Indonesia lainnya yang juga spontan membantu secara sporadis. ”Hanya faktor rasa kebangsaan dan kemanusiaanlah yang membuat kami berbuat,” kata Agus.

Informasi yang dihimpun Kompas.com, anggota rombongan studi banding rumah susun adalah Yasti Soepredjo Mokoagow dari Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN), Muhidin Mohamad Said (Fraksi Partai Golkar), Roestanto Wahid (Fraksi Partai Demokrat), Usmawarnie Peter (Fraksi Partai Demokrat), Sutarip Tulis Widodo (Fraksi Partai Demokrat), Zulkifli Anwar (Fraksi Partai Demokrat), Riswan Tony (Fraksi Partai Golkar), Eko Sarjono Putro (Fraksi Partai Golkar), Roem Kono (Fraksi Partai Golkar), Irvansyah (Fraksi PDI-P), Sadarestuwati (Fraksi PDI-P), Chairul Anwar (Fraksi PKS), Ahmad Bakri (Fraksi PAN), Epyardi Asda (Fraksi PPP), Imam Nahrawi (Fraksi PKB), dan Gunadi Ibrahim (Fraksi Partai Gerindra).


KPK Bantah Rumor Miranda ke Luar Negeri Rachmadin Ismail - detikNews

Jakarta - Sempat berhembus kabar tak sedap soal keberadaan mantan DGS BI Miranda S Goeltom. Meski sudah dicegah, Miranda dikabarkan lolos ke luar negeri. KPK pun menyangkal itu.

"Saya sudah cek, tidak ada informasi Bu Miranda ke luar negeri. Itu nggak ada," kata juru bicara KPK, Johan Budi SP di Gedung KPK, Jl HR Rasuna Said, Kuningan, Jaksel, Jumat (19/11/2010).

Menurut Johan, status Miranda hingga saat ini masih sebagai saksi dan sudah dicegah ke luar negeri. Jika akan berpergian, Miranda harus izin ke KPK terlebih dulu.

"Bu Miranda statusnya telah dicegah keluar negeri. Bila dia mau keluar negeri maka harus izin dulu ke KPK," lanjutnya.

Johan menegaskan, proses pemberian izin itu tidak akan mudah untuk dilakukan. Sebab, izin harus diberikan oleh penyidik. "Mereka yang akan memutuskan apakah izin akan dikeluarkan atau tidak," imbuhnya.

Miranda Goeltom sudah dikenai status cegah ke luar negeri oleh Dirjen Imigrasi. Permintaan status cegah itu diajukan KPK terkait proses hukum kasus dugaan suap pemilihan Deputi Gubernur Senior BI sejak 26 Oktober 2010.

Surat pencegahan Miranda bernomor IMI.5GR02.06-3.20574. Masa berlaku pencegahan selama setahun ke depan. www.detik.com