Catatan Diskusi tanggal 24 November, 2010
Dalam tiga bulan ini Indonesia harus menelan pil pahit tertimpa tiga bencana alam dalam periode cukup singkat. Belum hilang ingatan kita bencana banjir bandang Wasior yang menelan ratusan korban jiwa, kembali negeri ini menghadapi bencana yang tak kalah dasyatnya, tsunami di Mentawai, dan erupsi di Gunung Merapi. Harusnya pemimpin negeri sudah sadari sejak awal kondisi alam di Indonesia yang rawan bencana. Dihimpit oleh tiga lempeng bumi, lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng Pasifik menjadikan wilayah Indonesia paling rawan gempa bumi dan tsunami. Belum lagi banyak gunung berapi yang mengitari wilayah Indonesia, hingga tersemat julukan ring of fire (lingkaran api).
Kehadiran lembaga BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika), dan BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), sebenarnya menandakan pemerintah telah siap dalam mengantisipasi dan menanggulangi bencana. Tapi kenyataannya sampai dengan saat ini kinerja pemerintah belum optimal, dilihat dari masih banyaknya korban dan penanggulangan bencana yang payah. Banyak yang mengatakan, mengapa penanganan bencana begitu sulit dilakukan, karena wilayah Indonesia terlalu luas, dan menjadi sulit jika penanganan harus terpusat. Artinya perlu ada desentralisasi penanganan bencana. Di era massifnya otonomi daerah saat ini, sangat tepat jika wacana ini dapat terealisasi, karena otonomi daerah telah berjalan cukup lama, dan kemungkinan daerah telah siap untuk mengambil alih penanganan bencana diwilayahnya masing-masing.
Keuntungan jika desentralisasi diterapkan yang pertama, penanganan bencana akan lebih cepat dan tidak bertele-tele, karena strukturnya semakin diperpendek. Yang kedua, penanganan akan lebih tepat sasaran, karena daerah punya informasi yang akurat tentang daerahnya. Yang ketiga, lembaga-lembaga dipusat bisa berkonsentrasi untuk menangani bencana dengan skala impact yang lebih besar. Karena kelemahan selama ini, lembaga dipusat kelabakan jika menghadapi bencana dengan waktu yang bersamaan.
Pemberitaan Bencana di Media
Banyak kawan-kawan kita yang menyayangkan terlalu banyaknya porsi pemberitaan bencana di media saat itu. Apalagi ditengah masih banyaknya permasalahan indonesia yang kini luput dari pemberitaan media. Apa yang menjadi interest media saat itu sangat wajar, kalau kita mau memahami watak profit sebuah media, karena berita bencanalah yang saat itu paling laku dijual. Dan harusnya pilihan media diatas patut kita syukuri, karena itulah yang harus menjadi prioritas utama wacana saat itu. Massifnya pemberitaan media tentang bencana adalah suatu keuntungan, pertama, karena korban bencana tentu butuh uluran tangan dari masyarakat lain. Dengan pemberitaan itu, kita sekarang bisa lihat efeknya yang luar biasa, begitu banyaknya jumlah bantuan yang terhimpun. Yang kedua, gencarnya pemberitaan juga sebagai penanaman nilai-nilai positif bagi masyarakat, rasa kebersamaan sebagai saudara setanah air, juga kepedulian akan kemanusiaan semakin meningkat.
Pemberitaan bencana memang telah menutupi berjibun masalah lain ditanah air. Orang-orang “nakal” di negeri mendapat keuntungan, karena merasa aman dari sorotan media. Tapi mengingat prioritas diatas, kita harus memaklumi akan kondisi ini. Yang seharusnya menjadi bahan kritik kita terhadap media bukan pada pilihan isu, tapi pada keakuratan dan proporsionalitas pemberitaan bencana. Ketidak akuratan akan menyebabkan kepanikan dan kesalahan penanganan. Sedangkan pemberitaaan yang tidak proporsional berakibat pada buruknya distribusi bantuan. Suatu fakta selama ini, bagaimana diskriminasi bantuan yang diberikan antar posko dan antar daerah, karena informasi yang tidak berimbang.
Media di zaman informasi ini adalah aktor paling penting dalam pengarusutamaan agenda bangsa. Seperti apa yang diungkap oleh peneliti amerika, Mc Combs dan Donald L Shaw dalam teori Agenda setting, bahwa Media Massa adalah “playmaker” dalam pemilihan dan pemihakan agenda politik. Artinya tuntutan akan independensi, dan political will menjadi penting untuk dimiliki media. Upaya perbaikan bangsa saat ini, juga harus meliputi perbaikan kualitas media massa. Dengannya, kepentingan hakiki masyarakat akan terartikulasikan dengan baik oleh media dan masyarakat juga semakin dicerdaskan dengan pemberitaan yang berkualitas.
*Samsul Muhammad, Jurusan Tafsir Al-Qur’an dan Hadis, Fakultas Ushuluddin, UIN Suka