Sabtu, 20 November 2010

Re-thinking Paradigma Pendidikan (Lanjutan tulisan "Pencarian Akar Masalah")

Re-thinking Paradigma Pendidikan            
              Telah kita ketahui bersama dalam pencapaian pendidikan yang berkualitas, tidak dapat dipisahkan peran serta paradigma pendidikan didalamnya. Lalu apa yang dimaksud dengan paradigma pendidikan sendiri? Paradigma pendidikan adalah konsep filosofis yang mendasari seluruh proses dan materi pengajaran suatu bidang ilmu yang diajarkan. Dari pengertian diatas ada istilah konsep filosofis disana, artinya perlu diuraikan dasar epistomologis yang dibangun dan tujuan pendidikan untuk apa? Konsep filosofis ini lalu dimanifestasikan dalam bentuk – bentuk konkret metode pengajaran, dan perangkat  apa yang dibutuhkan dalam mencapai tujuan pendidikan tadi. Uraian diatas  mengarah pada anasir – anasir dalam membentuk paradigma pendidikan, yakni epistemologi dan aksiologi dalam pendidikan.

Mengkaji Dimensi Epistemologi
                Pendidikan banyak dikatakan sebagai transfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge). Sedangkan istilah Ilmu pengetahuan yang selama ini banyak dipahami juga tidak luput dari masalah. Istilah ilmu pengetahuan di Indonesia sering menjadi pengertian/terjemahan dari, wetenschap (Belanda), wissenschaft (Jerman), dan science (Inggris). Padahal ketiga istilah ini menunjuk pada makna dan cakupan yang berbeda. Maka timbullah kekaburan pengertian dari ilmu pengetahuan. Misalkan antara wetenschap dan wissenschaft  tidak sama dengan science dalam cakupannya. wetenschap dan wissenschaft  lebih luas cakupannya meliputi filsafat, tekhnologi, dan bahkan doktrin dan ideologi juga dimasukkan didalamnya, sedangkan science tidak. Science merupakan pengejewantahan ilmu yang “bebas nilai”, semua empiris dalam pencarian kebenaran. Maka science dalam bahasa belanda diartikan sebagai  empirische wetenschap.[1]

                Kata ilmu sendiri berasal dari bahasa arab, sehingga dalam pembahasan terminologi ilmu seharusnya dikembalikan dalam kaidah bahasa arab. Secara sederhana Ilmu berarti pengetahuan yang mendalam, pengetahuan tentang hakekat “sesuatu”. Baik itu pengetahuan yang didapatkan dari proses pencarian, maupun didapatkan tanpa adanya pencarian bersifat given (lewat wahyu/ilham) dari pencipta manusia dan alam semesta.[2] “Sesuatu” diatas baik yang bersifat empiris-rasional maupun yang bersifat non empiris-supra rasional. Bandingkan dengan terminologi dari science, science sering diartikan sebagai kumpulan pengetahuan yang yang telah teruji kebenarannya secara empiris. Hanya terbatas pada sifat empiris-rasional. Kesalahan kita lebih memilih terminlogi science tentu mengadung konsekuensi berarti. Titik tekan pada empiris-rasional hanya akan mengembangkan pengetahuan empiris (scientific knowledge), dengan mengabaikan aspek moral, makna, dan nilai.[3]

                Mungkin ada yang mempertanyakan “benarkah wahyu menjadi sumber pengetahuan?”. Menjawab pertanyaan ini maka kita akan kembalikan pada dua pilihan diatas, menggunakan terminologi  science yang bebas nilai?  Atau menggunakan terminologi “ilmu” yang tidak bebas nilai? Syed M. Naquib Al-Attas mengingatkan umat manusia khususnya kepada umat muslim dalam risalah:
<span> </span>“Kita harus mengetahui dan menyadari  bahwa sebenarnya ilmu pengetahuan tidak bersifat netral; bahwa setiap kebudayaan memiliki pemahaman yang berbeda-beda mengenainya – meskipun diantaranya terdapat beberapa persamaan. Antara Islam dan kebudayaan barat terbentang pemahaman yang berbeda mengenain ilmu, dan perbedaan itu begitu mendalam sehingga tidak bisa dipertemukan.”[4]

              Wan Mohd Nor Wan Daud menambahkan bahwa ilmu adalah sifat manusia, sedangkan semua yang ada diluar akal pikiran manusia bukan disebut ilmu melainkan hanya sebuah fakta dan informasi.[5] Adanya sisi subyekfitas ilmu itulah yang meyakinkan kita bahwa ilmu tidak bebas nilai, tergantung perspektif manusia. Menyikapi wahyu maka semuanya kembali diri manusia, mau mengimani atau tidak terserah manusia itu. Seorang Kristen secara apriori tentu akan menyangkal wahyu dalam Al-Qur’an sebagai sumber pengetahuan karena keyakinannya. Tapi alangkah bodohnya jika seorang Islam justru meragukan Al-Qur’an sebagai sumber pengetahuan. Mengimani Al-Qur’an otomatis berarti meyakini pengetahuan didalamnya sebagai sebuah kebenaran. lainnya Dalam kitab Ar Risalah At Tauhid Muhammad Abduh bahkan mendefinisikan wahyu itu sendiri sebagai ilmu pengetahuan yang didapati seseorang dalam dirinya yang diyakini sepenuhnya berasal dari Allah SWT.

               Secara komprehensif Al-Attas mendefinisikan Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan adalah pengenalan dan pengakuan, yang diajarkan secara progresif kepada manusia, mengenai tempat yang sebenarnya dari segala sesuatu dalam tatanan ciptaan yang mengarah pada pengenalan dan pengakuan tempat yang patut bagi Allah SWT dalam tatanan being dan eksistensi”.[6] Seharusnya inilah yang sejak awal disadari oleh masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim, bahwa semakin orang Islam berilmu maka akan semakin dekat dengan Allah dan bertambah keimanannya. Karena pada hakekatnya semua Ilmu berasal dari Allah SWT. Persis seperti yang diucapkan malaikat ketika ditantang Allah untuk menjelaskan nama-nama benda ciptaan-Nya.

Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. Al Baqoroh : 32)

Obyek Pendidikan dan Klasifikasi Pendidikan
                Dalam Islam obyek ilmu dalam pendidikan ada dua dimensi, yang pertama dimensi visible (tertampak) dan invisible (tak tampak).  Visible bersifat horizontal, obyek kajiannya ada dua, alam semesta sebagai obyek, dan manusia (serta masyarakat) sebagai obyek. Lalu turunannya begitu banyak sekali dari Ilmu alam dan ilmu sosial ini dan bahkan derajatnya begitu tinggi dalam realita hirarki ilmu kontemporer.  Yang kedua ini yang harusnya sudah kita sepakati diawal bahwa obyek yang bersifat invisible memang harus diakui eksistensinya (konsekuensi iman). Seperti keyakinan umat muslim tentang keberadaan yang ghaib.

                Islam telah mengklasifikasikan jenis ilmu yang pernah diperkenalkan oleh ulama klasik semacam Al-Ghazali. Secara garis besar ada dua pembagian menurut kadar kewajibannya, yang pertama ilmu yang fardhu ‘ain dan ilmu yang fardhu kifayah.


Tujuan pendidikan
                Tujuan pendidikan barat seperti tercermin dalam pemikiran John Locke, tujuan pendidikan katanya adalah membentuk akal sehat dalam tubuh yang sehat dan otak yang sehat dalam pikiran. Hanya sebatas materi saja. Atau menurut Robert Owen menjelaskan tujuan utama pendidikan adalah pengembangan sikap moral. Walaupun sudah benar mengatakan moral sebagai tujuan, tapi owen memberikan pengertian moral secara universal, berbeda dengan akhlak dalam keilmuan Islam yang bertujuan taqorub Ilallah dan modal untuk menjadi khalifatul ard. Al-Attas mengarahkan tujuan pendidikan sebagai berikut:

 “Pendidikan tidak hanya berfungsi sebagai sarana pencapaian tujuan – tujuan sosial ekonomi, tetapi secara khusus juga berperan dalam mencapai tujuan-tujuan spiritual manusia.... Konsekuensinya, kita perlu mendefinisikan ilmu dalam kaitannya dengan realitas spiritual manusia.“

             Selaras dengan Al-Attas, Kuntowijoyo juga mengarahkan tujuan manusia bukan hanya diukur dari satu sisi, yang dikatakan sebagai “yang diluar” (materi) itu adalah kondisi yang perlu (necessary condition) , tapi itu saja tidak mencukupi atau bukan suatu kondisi yang mencukupi (sufficient condition). Dijelaskan lagi bahwa kesadaran (spiritual) itulah yang esesial, bukan kondisi materialnya.[7]

oleh Dedy Yanwar El Fani pada 20 November 2010 jam 22:16


Next --> Dimensi Aksiologis? Merumuskan Metode dan Perangkat Pendidikan

0 komentar:

Posting Komentar