Infratruktur kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta kian megah. Mulai dari fasilitas dalam dan luar ruangan. Misal untuk fasilitas di semua ruang perkuliahan tersedia LCD dan AC. Belum lagi fasilitas di luar ruang perkuliahan. Kita akan mendapati berbagai macam fasilitas mewah seperti masjid dengan arsitektur modern, GOR (gelanggang olah raga), sampai gedung Multy Purpose yang kerap digunakan untuk acara pernikahan ketimbang seminar keilmuan.
Namun sayangnya bangunan-bangunan yang menghabiskan dana besar itu tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas pendidikan. Tidak ada evaluasi dan perbaikan kurikulun dalam rangka meningkatkan kepahaman mahasiswa. Sehingga yang real terjadi dalam perkuliahan adalah kegiatan pengisian presensi. Usaha meningkatkan minat baca mahasiswa dengan melengkapi koleksi buku-buku di perpustakaan pun nihil. Hanya ada buku-buku usang yang berjejer di etalase perpustakaan fakultas maupun universitas.
Bangunan-bangunan di kampus Islam ini cenderung hanya berupa pemenuhan kebutuhan sekunder bahkan tersier. Taman, pagar, bunga-bunga dan lain-lain, tidak lebih dari sekedar pemoles wajah infrastruktur kampus yang mempunyai tujuh fakultas ini agar terlihat cantik. Dengan tujuan yakni meningkatkan harga jual UIN dalam konteks bisnis. Bahkan yang lebih ironis lagi, infrastruktur yang ada malah mempersulit mahasiswa untuk berkreasi dan berkembang. Penguncian ruangan kelas usai dosen mengajar adalah tindakan pengusiran terhadap mahasiswa. Takut kehilangan kursi, LCD atau AC menjadi alasan dikuncinya ruangan. Pihak kampus lebih takut kehilangan properti dari pada keilmuan , semangat belajar dan impian mahasiswa. Di sisi lain Jeruji besi yang memagari setiap gedung seolah menendang keluar mahasiswa dari sekedar menumpang belajar disana. Seperti pagar yang terdapat pada gedung multy purpese, masjid, poliklinik dan lain-lain. Akibatnya mahasiswa kehilangan ruang untuk berkreasi, diskusi dan mengkaji. Selesai sudah prosesi pengusiran, setelah diusir dari ruang kelas mahasiswa diusir dari ruang universitas.
Tampaknya eksistensi kampus sebagai wadah belajar mengalami pergeseran makna. Sekarang kampus sudah menjadi lahan bisnis. Hal ini semakin terbukti dengan adanya tarif yang semakin mahal ketika hendak meminjam fasilitas kampus. Tidak peduli dengan alasan apapun dan siapapun yang meminjam, termasuk mahasiswa itu sendiri. Jadi yang ada bukan bahasa siapa dan untuk apa meminjam, tapi bahasanya adalah koe wani mbayar piro cah arep njeleh??
Ali Sofyan (Veteran kammi 09-10)
Fakultas syariah, Jurusan muamalat 2007
Kehadiranmu
8 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar