Rabu, 22 Desember 2010

Artikel

KERESAHAN

Oleh : Agus Purnomo (Kadep KP KAMMI UIN SUKA)

Resah, itulah yang dialami Rosulullah di saat melihat kondisi masyarakat jahiliyah pada masa itu. Tradisi riba dan menimbun harta menyelimuti sebagian besar kegiatan perokonomian. Belum lagi tradisi perang yang berdasar kesukuan bukan atas dasar pembelaan kebenaran. Dalam hal moral manusia menuju titik nadir kebinasaan, Perlakuan terhadap budak, wanita bahkan ibunya jauh dari nilai kemanusiaan.
Realitas masyarakat pada zaman seperti itulah manusia pilihan itu tinggal. Sebuah realitas yang jauh dari nilai idealita dalam benak suci rosulullah. Ada jurang lebar yang menganga antara ruang realita dan idealita. Ia merenung lama dalam pencarian kebenaran. Fitrah kemanusiaannya memberontak melawan dalam kesunyian gua hiro. Sampai ketika malaikat jibril membawakannya wahyu petunjuk. Tugas suci yang menyejarah pun dimulai. Ia segera sadar dan bangkit melawan kenyataan yang terjadi. Realitas tidak membuatnya pesimis atau melarikan diri menyerah. Realiatas adalah data otentik yang menjadi referensinya untuk mulai bergerak. Memulai bekerja dengan analisis kondisi internal dan eksternal, dengan petunjuk pelaksana yang telah didapatnya(wahyu).
Muhammad sadar betul saat itu ia sendiri. Belum ada penyokong-penyokong da’wah yang akan membantunya mendesain sebuah masyrakat, negara apalagi peradaban yang islami. Dalam siroh suci rosulullah, tertulis bahwa manusia agung itu memulai da’wah pertamanya kepada keluarga dekat, sanak famili dan sahabat-sahabatnya. Dari sinilah arsitek-arsitek peradaban muncul kepermukaan sejarah. Merekalah yang menjadi kader-kader inti. Dan masa ini, kata syeikh Muhammad Munir Ghodban dalam bukunya manhaj haroki fii shirotinnabawiyah, disebut masa tandzimi.
Kondisi Kita Hari Ini
Segala sesuatu itu digulirkan, sejarah akan terulang. Itulah yang kita pahami dari sebuah kaidah dalam islam, ”islam itu relevan dalam setiap tempat dan zaman”. Pemahaman ini yang kemudian menjadi landasan berfikir kita untuk menarik kembali sejarah dan menghadirkannya untuk menjadi solusi pada masalah hari ini.
Jika kita berbicara permasalahan dalam konteks keindonesiaan, maka akan muncul sederatan masalah yang begitu rumit dan kompleks. Mulai dari kegagalan infrastruktur pembangunan sampai pada mental-mental korup penggerak bangsa ini. Namun demikian tragedi yang lebih miris dari itu semua adalah matinya keresahan pada tubuh bangsa ini. Dan inilah masalah yang lebih berbahaya. Keresahan yang menjadi titik dasar perubahan tidak mampu lagi ia rasakan. Ratusan tahun dalam keterpurukan telah mematikan nuraninya. Ia pasrah, ia rela dan ia menyerah pada keadaanya. Ia merasa puas dengan keadaannya . Ruang geraknya selalu berkutat pada pemenuhan kebutuhan pribadi dan kebutuhan sosial. Kemiskinan, kebodohan, keterpurukan adalah bukti riil dari ketidak berdayaanya bangsa ini.
Mengetahui Realitas Sebagai Landasan Gerak
Pada tahun 1971 sektor pertanian (meliputi pertanian, kehutanan, dan perikanan) memasok pendapatan nasional (produk domestik bruto) sebesar 44% atau setengah dari seluruh pendapatan nasional. Ditinjau dari sisi kemampuan menyerap tenaga kerja sebesar 64% tenaga kerja. Dan manufaktur 6,5 %. Namun 30 tahun kemudian (2001). Sektor pertanian hanya menyumbang 17 %, sedangkan industri manufaktur sebesar 25 % untuk pendapatan nasional. Penyerapan tenaga kerja dari inustri mannufaktur 13 %, sementara pertanian 43 %. Pendapan dari sektor pertanian merosot sedangkan manufaktur industri terus meroket. Negara agraris ini tidak menjadikan petani menjadi kaya dan sejahtera. Miris bukan?. Belum lagi permasalahn yang muncul pada sektor-sektor lain, seperti perburuhan, nelayan, informal dan usaha kecil. Itulah sekelumit dari deretan kisah duka yang menyelimuti negeri ini.
Mengelola Keresahan
Bangsa ini sudah terlalu lama dalam keterpurukan politik dan kevakuman kebangkitan. Kita bukanlah kaum lugu yang menunggu hadirnya ratu adil yang tidak kunjung datang. Atau menunggu belas kasihan dari bantuan bangsa asing yang sebenarnya akan memperparah kondisi bangsa. Negeri ini adalh rumah kita sendiri, dan bukan rumah orang lain. Ide dan sikap kerdil adalah tembok yang harus dihancurkan. Mari satukan keresahan kita menjadi gelombang perlawanan yang dahsyat. Perlawanan besar yang akan menhancurkan tembok kebodohan, kekerdilan dan kemalasan. Mari kita himpun para pahlawan yang berserakan di negeri ini. Merangkai kembali negeri yang terurai oleh hantaman badai ketidakberdayaan. bersama para pahlawan hakekatnya-meminjam ungkapan Anis Matta- “pahlawan bukanlah orang suci dari langit yang diturunkan kebumi untuk menyelesaikan persoalan manusia dengan mukzizat, secepat kilat unruk kemudian kembali kelangit. Pahlawan adalh manusia biasa yang melakukan pekerjaan-pekerjaan besar dalam sunyi yang panjang, sampai waktu mereka habis”. Masih menurut Anis Matta “mereka tidak harus dicatat dalam buku sejarah. Atau dimakamkan ditaman makam pahlawan. Mereka juga melakukan dosa. Mereka bukan malaikat. Mereka hanya manusia biasa yang berusaha memaksimalkan seluruh kemampuannya untuk memberikan yang terbaik bagi orang-orang sekelilingya. Mereka merakit kerja-kerja kecil menjadi sebuah gunung. Karya pahlawan adalah tabungan jiwa dalam masa yang lama”.
Agus Purnomo (KAMMI UIN SUKA)
Jurusan Muamalat’08
Fakultas Syariah
UIN Sunan Kalijaga

0 komentar:

Posting Komentar