Oleh : Lystia Rosmita Rahma (Staf KP KAMMI UIN)
Pemuda harus menjadi intelektual organic sebagai bagian utuh dari masyarakatnya
(Antonio Gramsci)
Yogyakarta merupakan kota pelajar. Itulah opini masyarakat beberapa dekade yang lalu. Lebih dari 137 lembaga pendidikan baik negeri maupun swasta berdiri di kota budaya ini. Banyak mahasiswa yang berasal dari segala penjuru daerah datang untuk melanjutkan studinya di universitas yang ada di Yogyakarta. Tetapi, kini opini itu sudah bergeser. Anak mudanya lebih cenderung menikmati fasilitas dalam zona nyaman, mahasiswa hanya menikmati dunia kampus tanpa memandang permasalahan social yang berkutik di masyarakat. Bahkan terbawa arus globalisasi, beramai-ramai mencari katub pelepas untuk mencari hiburan. Anak muda sekarang lebih cenderung menyukai berkunjung ke Mall atau nonton bioskop bersama sang kekasih. Mall lebih diminati ketimbang perpustakaan atau bangunan sarana pendidikan. Sebagian merasa lebih mengasyikkan ke tempat seperti itu daripada menghabiskan waktunya untuk meningkatkan kapasitas intelektual dan mengasah kesensitifan jiwa sosial, misalnya aktif dalam kegiatan organisasi, Kegiatan Mahasiswa, mengunjungi dan membaca di perpustakaan.
Bung Karno menggambarkan pemuda sebagai sosok unggul, pilihan, bergairah, bergelegak dan bergelora secara fisik, psikis, intelektual, serta yang terpenting sikapnya. Pemuda sosok superior, progresif, revolusioner dengan api /berkobar-kobar, dan bara spirit yang menyala-nyala. Maka, sangatlah wajar ketika Bung Karno pernah berujar: “"Beri aku sepuluh pemuda, maka akan kugoncangkan dunia!"
Dalam sejarah bangsa Indonesia, pemuda pun memiliki bagian dalam kemerdekaan Indonesia. Sumpah Pemuda 1928 menjadi pemersatu komponen bangsa untuk bersatu dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Peristiwa Rengas Dengklok tercatat sebagai bagian dari perjuangan dari kemerdekaan bangsa Indonesia yang diawali oleh peran golongan muda. Pendobrak kebekuan politik orde lama (1966), peristiwa malari (1974), serta jatuhnya rezim orde baru pada 21 Mei 1998 pun tak terlepas dari perjuangan kaum muda.
Perguruan tinggi adalah tempat proses mencerdaskan bangsa, yang dilakukan setelah siswa selesai pendidikan dasar dan menengah. Tetapi, realitas menunjukkan tidak semua lulusan sekolah menengah yang mendapatkan kesempatan belajar di perguruan tinggi, baik karena alasan ketidakmampuan akademik ekonomi maupun sebab lainnya. Mahasiswa merupakan calon pemimpin bangsa akan datang. Oleh karena itu, kualitas mahasiswa saat ini akan sangat mempengaruhi kualitas kehidupan bangsa pada masa akan datang. Sehubungan dengan peran yang sangat stategis ini, maka segala upaya yang dapat memperkuat pembinaan mereka demi terbentuknya karakter bangsa yang kuat sehingga akan memberi dampak positif bagi kehidupan masa depan bangsa.
Tugas mahasiswa sebagai penerus masa depan bangsa adalah mampu mengubah tatanan dan nilai budaya politik, serta ekonomi yang menindas. Mahasiswa sebagai pioneer perubahan dituntut dapat mengubah tatanan dan nilai yang menindas serta berbudaya santun dan memberikan solusi terhadap permasalahan dunia.
Seiring dengan perkembangan zaman, isu dan tantangan yang dihadapi perguruan tinggi muncul silih berganti. Hal itu disebabkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan arus informasi yang semakin global sehingga sudah tidak dapat lagi dibendung .
Melihat realitas, sedikit sekali mahasiswa yang sadar akan tugas mereka bagi bangsa ini. Meskipun banyak mahasiswa yang telah berhasil meraih prestasi akademik, bakat dan minat, namun hal tersebut belum berarti banyak dibanding jumlah mahasiswa secara keseluruhan. Dengan demikian, masih diperlukan usaha keras semua komponen bangsa khususnya perguruan tinggi dalam penanaman nilai kebangsaan demi tercapai kualitas yang lebih baik bagi bangsa dan negara.
Sangat tepat ketika Anis Matta (2006) mengatakan bahwa krisis kepemimpinan nasional saat ini adalah musibah nasional terbesar, yang pernah dialami bangsa kita sepanjang sejarah kemerdekaaan. Ini merupakan suatu potongan sejarah yang disebut masa kekosongan kepemimpinan karena dalam masa ini ada pemimpin yang tidak memimpin. Idealnya menurut Sri Sultan Hamengku Buwono X bahwasannya pemuda harus mengikuti alur sejarah “continuity and change”, maka peran kesejarahan generasi muda sekarang harus melintasi sekaligus tiga zaman: masalalu, masakini dan masadepan dimana ada perpaduan kesadaran historis, kesadaran realistik, dan kesadaran futuristik, seakan membentuk segitiga utuh.
Menjawab berbagai tantangan bangsa Indonesia, Pendidikan Nasional merancang suatu konsep besar yang dikenal dengan Community Based Education (CBE) sebagai pendidikan berkarakter. Community Based Education merupakan konsep pendidikan yang menekankan pada paradigma pendidikan dalam upaya peningkatan partisipasi dan keterlibatan masyarakat, serta pengelolaan pendidikan yang sesuai dengan tuntutan global dan nasional. Dengan adanya pendidikan berbasis masyarakat, maka akan mudah terbentuk pribadi yang memiliki intelektualitas, emosianalitas, terlebih secara spiritualitas sehingga dalam suatu rangkaian yang utuh.
Potensi yang ada dalam diri manusia, yaitu potensi secara IQ (intelegency quation), EQ (Emosional Quation), dan SQ ( Spititual Quation). Tiga dimensi ini laksana segitiga yang mempunyai kesamaan sisi yang mencerminkan keseimbangan kepribadian manusia. Kepincangan antara tiga dimensi tersebut bukan saja merugikan pribadinya, melainkan juga masyarakat sekitarnya.
Dalam peningkatan sumber daya manusia melalui pendidikan, salah satu upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan mensinergikan ketiga dimensi di atas.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 54 dibahas tentang peran serta masyarakat dalam pendidikan diuraikan dalam ayat-ayat sebagai berikut:
1. Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perorangan, kelompok, keluarga, organisasi profisi, pengusaha dan organisasi kemasyarakatan dalam menyelenggarakan dan pengendalian mutu pada satuan pendidikan.
2. Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber pelaksanaan dan pengguna hasil pendidikan.
Demikian pula pendidikan berbasis masyarakat sebagaimana yang tertuang pada pasal 55 berbunyi:
1. Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan non formal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial dan budaya untuk kepentingan masyarakat.
2. Penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standard nasional pendidikan.
3. Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggaraan, masyarakat, pemerintah, pemerintah daerah dan atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4. Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana dan sumberdaya lain secara adil dan merata dari pemerintah dan atau pemerintah daerah.
Dengan Community Based Education ini, Indonesia diharapkan memiliki rasa kebersamaan dan kepedulian dalam ikut berusaha memecahkan persoalan bangsa dengan segala penyakit sosialnya.
Bangkitlah… Negeriku… Harapan itu masih ada
Berjuanglah bangsaku… Jalan itu masih terbentang
( Bangkitlah Negeriku- Shoutul Harokah)
Referensi:
Ginandjar, Ary. 2005. ESQ Emotional Spiritual Quotient. New Edition. Jakarta: Penerbit Arga.
Aryani, Sekar Ayu, dkk. Sukses di Perguruan tinggi. Yogyakarta: UIN Suka press.
Matta, Anis. 2006. Dari Gerakan ke Negara Sebuah Rekonstruksi Negara Madinah yang Dibangun dari Bahan Dasar Sebuah Gerakan. Jakarta: Fitrah Rabbani.
http://www.bpurwoko.staff.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2007/12/Kebangkitan%20Pemuda.pdf
Lystia Rosmita Rahma (KAMMI UIN)
Jurusan Pendidikan Kimia’09
Fakultas Sains dan Teknologi
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
0 komentar:
Posting Komentar